PERS
- Kelompok 1
- Feb 27, 2020
- 7 min read
Pada masa kekuasaan Mayor Jenderal Soeharto dan orde baru yang ia proklamirkan saat itu, mampu membelenggu surat kabar-surat kabar yang ada di Indonesia. Soeharto menetapkan kebijakan pers yang ketat yang mengekang pers di Indonesia. Pembredelan surat kabar yang terjadi pada masa itu berada dibawah kekuasaan Menteri Penerangan, mendapat tuntutan hukum oleh editor ternama yaitu Goenawan Mohamad. Goenawan mencoba menelaah secara publik dan yudisial, apakah menteri mempunyai kewenangan dalam melakukan pembredelan, contohnya majalah Tempo di bulan Juni 1994. Selama dekade awal kemerdekaan pers disebut sebagai ‘alat revolusi’ yang memompa semangat dan menggerakkan pendapat publik. Dengan terjadinya transisi pemerintahan dan perpindahan kekuasaan kepada Soeharto. Soeharto berusaha untuk menghilangkan surat kabar yang kritis dan memastikan agar pers bertanggung jawab secara mutlak kepada pemerintah. Pada tahun 1969 terjadi pembredelan besar-besaran yang memangkas sejumlah surat kabar dan majalah. Industri pers sejak mengalami titik jatuh di awal periode 1970-an, menghasilkan penerbitan yang lebih menarik dan cerdas berkat kemajuan teknologi.
Pada akhir tahun 1980-an, industri pers Indonesia melakukan ekspansi media. Melalui media elektronik, pada tahun 1988 yang merupakan kemunculan stasiun televisi milik swasta pertama yaitu RCTI, lalu 2 tahun kemudian disusul oleh kemunculan SCTV. Kemajuan ini menjadi suram ketika para pemilik modal tercengkeram oleh kebijakan moneter yang ketat. Anggaran periklanan berkurang dan mengalir kepada sektor televisi swasta. Industri media cetak di Indonesia dalam mempertahankan bisnisnya, membutuhkan suntikan modal dari luar. Negara dan para pengusaha pers mengalami berbagai masalah distribusi dan pemasaran surat kabar apabila tanpa suntikan modal dari luar. Masalah pemasaran yang dihadapi oleh Indonesia, tentu dialami oleh banyak industri lain. Christianto Wibisono selaku Kepala dari Pusat Data Bisnis Indonesia mengatakan bahwa “naik turunnya kehidupan pers di Indonesia selaras dengan perubahan dan perkembangan yang kita alami di sistem bisnis ekonomi, politik, dan sosial.” Setelah kemerdekaan tahun 1945, ketika ekonomi didominasi oleh perusahaan dan bank berkekuatan asing, begitu juga dengan pers di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi di Orde Baru meningkat dan menikmati prospek secara berkelanjutan, pengusaha pers yang berhasil bersiap untuk menghadapi deregulasi dan non-proteknisme dunia. Mendorong masuknya ekspansi pers dari barat, untuk investasi besar-besaran di Indonesia. Surat kabar International Herald Tribune sudah menjalankan distribusi di seluruh Asia Tenggara dan memungkinkan untuk menanamkan modal besar melalui saluran pers regional Australia. Sementara itu pers Australia berjuang dalam pertarungan dengan modal asing, perusahaan kelompok Fairfax berhasil menggeser modal asing dengan mengandalkan pengawasan publik atas kecurangan yang terjadi di lingkar Senat pada tahun 1994. Meningkatnya periode deregulasi ekonomi dan politik dinikmati penanam modal di sepanjang Laut Timor, yang memungkinan Indonesia menanam modal pada sektor perumahan dan pariwisata Australia, dalam waktu singkat pers Indonesia dapat menyuntikan semangat baru dalam persaingan di industri pers Australia. Kesalahpahaman mendasar dan luas antara Australia dan Indonesia membuat ketegangan dalam hubungan diplomatis diantara keduanya. Namun, media cetak tetap membuka jendela untuk mengetahui perkembangan dunia politik yang akan ada relevansinya dengan pemerintah dan perannya bagi bangsa Indonesia serta tetangga yang berada dalam kawasan yang sama serta Australia. Terdapat berbagai kajian tentang pers di Indonesia, monograf memiliki tujuan untuk memperdalam dan memadatkan tentang fenomena pers Orde Baru. Monograf ini menggambarkan tentang tekanan-tekanan dana konsekuensi yang diterima jika menyepelekan pemerintah. Meski terjadi pembredelan, modal swasta tetap gencar untuk mengisi ruang-ruang kosong dan tekanan yang terjadi lambat-laun semakin berkurang. Pada buku ini terdapat beberapa tema tentang evolusi industri pers Orde Baru, setidak ada tiga analisis yang terkait dengan itu. Analisis pertama, menggaris bawahi tentang adanya kontradiksi antara profit perusahaan pers (swasta) yang harus didorong dengan ‘pertahanan’ Negara. Beberapa aktor yang ingin memasukan modal asing dalam ranah pers Indonesia adalah anak Presiden Soeharto yaitu, Bambang Trihatmojo yang pada saat itu memegang saham RCTI (swasta). Beliau menginginkan masuknya modal asing untuk memperkuat stabilitas dan kelangsungan media di Indonesia. Namun di sisi lain, melalui Menteri Penerangan Indonesia saat itu, penanam modal terhadap media di Indonesia sangat dibatasi bahkan cenderung dilarang, guna ‘mempertahankan’ Negara dengan pemerintah sebagai penguasa atas arus informasi. Dengan demikian, terjadi gejolak pada media di Indonesia, media yang mengedepankan keterbukaan yang berujung pada mengusik ‘ketahanan’ Negara, konsekuensi yang diterima adalah tutup dan hancur. Namun, tidak sedikit pula yang bermain aman mengikuti ‘instruksi’ Negara demi menjaga medianya tetap eksis di Tanah Air. Kejadian ini, memojokkan posisi pemerintah saat itu karena, adanya prosedur hukum yang ketat oleh Pusat Internasional terutama kecaman dari Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal (International Centre for the Settlement of Investment Dispute) dengan Bank Dunia. Analisis kedua, berfokus pada dorongan rakyat menengah kebawah untuk mendapatkan akses arus informasi yang luas dan terbuka serta menuntut adanya keberagaman pers. Kini dengan memiliki akses terhadap liputan televisi internasional melalui jaringan satelit tanpa sensor, mendorong media domestik untuk memberikan liputan yang lebih eksplisit dan tajam, baik secara cetak atau elektronik. Kompetisi pasar pun semakin meluas dengan adanya lintas nasional yang mendorong menerbitkan popularitas terbitan berkala seperti Forum Keadilan tahun 1991. Dengan tekanan tersebut pemerintah dituntut memberikan izin penerbitan berita oleh saluran swasta, sehingga Agustus 1993 media swasta menghentikan monopoli berita oleh pemerintah yang selama ini disiarkan melalui TVRI. Ketiga, media cetak melihat adanya kerugian jika kontrol Negara dilepaskan begitu saja kepada pihak oligopoli. Keragaman konten berita akan menurun seiring dengan adanya konglomerat di masa mendatang, terutama yang memiliki kepentingan dan kekuasaan secara politis. Ini akan berdampak menurunnya pamor surat-surat kabar tradisional karena tidak adanya sindikasi tergabung dan dikelola oleh keluarga. Perkembangan media cetak kedepannya dinilai dalam pembahasan ini akan membuka lembaran baru. Media cetak bersama kompetitornya akan berkompetisi, sehingga memberika keragaman konten yang sulit diprediksi dan akan berlanjut pada fase pergulatan antara Negara dan pers di Indonesia secara bekelanjutan Pers, Masyarakat, dan Negara Pers selalu berkaitan dengan masyarakat. Di Indonesia sering terjadi polarisasi dan inkonsistensi berkaitan dengan hal ini, antara realitas empiris dan aktual. Hal ini disebut juga dengan distorsi antara aspirasi masyarakat dengan kehendak konstitusional atau pemerintah, peraturan, ideologi dengan apa yang terjadi dan praktiknya dalam kehidupan sehari-hari. Fred S. Stiebert mengkaji bahwa realitas pers yang lebih bersifat legal-formal daripada empiris dan aktual. Maka, untuk lebih memahami pers secara empiris dan aktual, diusulkan sebuah pendekatan alternatif yaitu pendekatan struktural yang dinilai lebih historis dan empiris untuk mengkaji realitas pers di Indonesia. Asumsi dari pendekatan ini yaitu eksistensi, realitas dan dinamika, orientasi dan posisi pers di suatu negara. Kekuatan sosial, ekonomi dan politik di Indonesia cenderung bersifat bipolar. Bipolar disini artinya terdapat dua kekuatan negara yang saling bersaing yaitu kekuatan politik negara yang diwakilkan oleh militer dan birokrasi dengan kekuatan politik masyarakat yang diwakilkan oleh partai politik, ormas, organisasi profesi, kelompok pengusaha atau pedagang, serta kelompok penekan termasuk mahasiswa, kelompok intelektual, serta pers.
Negara dan Masyarakat (Netralisasi - Instrumentalisasi) Terdapat 4 tokoh klasik yang mengemukakan teori, yaitu: John Locke (1632-1704) Mengemukakan pandangannya tentang negara dan masyarakat untuk menentang legitimasi yang diberikan kepada kekuasaan raja. Locke berpendapat bahwa eksistensi kekuasaan serta kedaulatan raja atau negara tercipta karena pelimpahan kekuasaan dari masyarakat. Dengan kata lain, Locke berpendapat bahwa eksistensi seorang raja merupakan kehendak rakyat. Menurut Locke, negara diciptakan oleh masyarakat untuk melindungi hak warganya. Locke melihat negara sebagai sebuah institusi yang netral. Negara menurut John Locke adalah tidak otonom atau mengurus kepentingannya sendiri. Jean Jacques Rousseau (1712-1778) Menurut Rousseau, negara dan masyarakat adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kehendak umum merupakan faktor yang membuat negara dan masyarakat identik. Kehendak umum adalah kehendak seluruh masyarakat negara yang mengarah kepada kepentingan bersama. Rousseau mengatakan bahwa kehendak masyarakat adalah kehendak negara. Dapat disimpulkan bahwa Rousseau mengandaikan negara dan masyarakat secara totalitas dan integralitas. George Willhelm Frederich Hegel (1770-1832) Hegel mengatakan bahwa negara adalah perwujudan dari kehendak umum. Namun, terkadang masyarakat seringkali irasional sehingga sering tidak mengetahui apa yang sebenarnya mereka kehendaki. Berdasarkan hal ini, maka Hegel menyatakan bahwa negara adalah suatu entitas yang bijak dan rasional. Karl Marx (1818-1883) Marx mengatakan bahwa negara selalu berpihak, melayani dan menjadi alat yang dominan, yaitu kelas kapitalis dan para penguasa modal. Negara merupakan alat reproduksi kelas kapitalis untuk mempertahankan kekuasaannya terhadap kelas buruh. Menurut Marx, negara adalah sebuah institusi yang tidak netral. Maka, berdasarkan keempat pemikiran tokoh di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa: Negara mempunyai posisi netral dari berbagai macam kepentingan masyarakat Negara dan masyarakat merupakan satu kesatuan yang integral dan totalitas Negara mempunyai posisi yang otonom ketika berhadapan dengan kehendak masyarakat Otonomisasi negara membuat negara cenderung menjadi dominan Otonomisasi negara menumbuhkan implikasi pada tumbuhnya negara yang alternatif Negara hanya menjadi instrumen bagi kelas dominan.
Teori-teori Modern tentang Negara dan Masyarakat Terdapat 3 teori modern mengenai negara dan masyarakat, yaitu: Teori Pluralis → menempatkan negara hanya sebagai salah satu bagian dari banyak kelompok politik. Teori ini melihat hubungan negara dan masyarakat dalam posisi yang tidak seimbang, masyarakat dominan dan negara sub-ordinan. Teori Organis → negara berperan aktif dan memiliki inisiatif dalam mengambil keputusan. Teori ini melihat hubungan negara dan masyarakat dalam posisi yang tidak seimbang, negara dominan dan masyarakat sub-ordinan. Teori Korporatisme Negara → negara memerlukan partisipasi dari berbagai elemen yang ada dalam suatu negara, dalam hal ini masyarakat. Namun, partisipasi yang diapresiasi adalah partisipasi dari masyarakat yang diakui. Teori Marxis → negara bisa berperan sebagai alat kapitalis namun bisa juga menjadi relatif terhadapnya. Teori Integralistik Soepomo → negara dan masyarakat adalah dua entitas yang bersatu, dimana masyarakat di dalamnya hidup dalam semangat gotong royong.
Pers, Masyarakat dan Orde Baru Negara dan masyarakat bukan sesuatu yang identik dan integral. Negara punya kecenderungan mendominasi masyarakat. Negara tidak netral dengan dirinya sendiri. Sifat negara Indonesia independen Terdapat dua catatan penting ketika ingin menempatkan pers ke dalam hubungan antara negara dan masyarakat. Pertama, pers hanya dapat dilihat dari sisi ekonomi, politik, dan sosial yang berinteraksi. Kedua, pers juga sebagai kekuatan sosial politik.
Model Hubungan Pers dengan Negara dan Masyarakat
Terdapat dua model hubungan pers dengan negara dan masyarakat yaitu dominatif dan pluralistik. Dalam model doninatif, sumber kekuasaan berpusat pada elite politik atau kelas-kelas dominan. Sistem kepemilikan media hanya terbuka untuk orang-orang tertentu yang mampu menembus regulasi. Maka dari itu, konten media berisi seputar para penguasa. Sementara pada model pluralistik, sumber kekuasaan berpusat pada kelompok-kelompok non pemerintah yang saling bersaing. Sistem kepemilikan media untuk orang-orang yang mampu dalam bidang jurnalistik. Maka dari itu, isi atau konten yang ada berisi tentang masyarakat. Pada awal krisis ekonomi awal Orde Baru, peran kapitalis internasional sangat besar hal ini terbukti dengan banyaknya hutang Indonesia kepada negara-negara maju. Berdasarkan realitas ini, maka dapat disimpulkan bahwa pada zaman Orde Baru negara dan masyarakat terpisah karena kekuatan sentral pemerintahan sangat besar. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa negara pada saat Orde Baru memiliki sifat-sifat seperti otonom, dominatif dan represif terhadap masyarakat.
Comments