Kebijakan UU Telekomunikasi dan Digitalisasi Penyiaran
- Kelompok 1
- May 13, 2020
- 5 min read
Peta Persoalan di Seputar Isu Digitalisasi
Karakter dan Kesiapan Sosial-Budaya Masyarakat
Gambaran karakter sosiologis masyarakat Indonesia dapat menjadi dasar bagi kebijakan publik. Televisi sebagai media massa yang menggunakan barang milik publik yaitu frekuensi maka persinggungan dengan kepentingan publik sangat tinggi. Maka, kebijakan akan digitalisasi TV akan memperdalam dan memperluas kadar publisitas dengan teknologi lebih canggih dibandingkan TV analog.
TV Digital
Pada tahun 1990-an TV memberikan pengaruh masif bagi kehidupan individu maupun masyarakat, terlebih dengan hadirnya stasiun TV swasta yang mencapai 6 stasiun siaran. Media TV menjadi cara efektif bagi modernisasi di pedesaan. Era 2000, TV dapat diakses melalui mobile phone , kendaraan, dll. Indonesia saar ini berada di era TV digital. Digitalisasi TV menambah kecanggihan layar TV dengan sajian program yang kian beragam. Telinga dan mata penonton juga dibuai dengan kualitas gambar dan suara yang bersih. Kehadiran TV digital kian menghanyutkan budaya nonton masyarakat dengan pemanjaan tayangan program yang beragam. Digitalisasi penyiaran tidak terlepas dari konteks perkembangan masyarakat sendiri. Migrasi dari analog ke digital mengikuti perubahan struktur dan budaya masyarakat yang ada.
Kesenjangan Sosial dan Implikasi Digitalisasi
Kebijakan mengenai digitalisasi sebagai industri informasi hanya akan memberi peluang bagi korporasi media yang memiliki kapasitas modal dan tidak terlepas dari kepentingan ideologi, dll. Digitalisasi penyiaran TV diharapkan membuka peluang dan tantangan bagi pebisnis media, namun tidak mampu menggeser dominasi oleh pemilik modal kuat. Kelompok kecil dan pihak yang tidak memiliki modal, teknologi, jaringan seperti TV komunitas dan TV lokal. Terlebih dalam hubungan produksi digitalisasi TV maka posisi masyarakat termarginalisasi dan tersubordinasi dari proses produksi.
Model Usaha Penyiaran Digital
Terdapat dua model bisnis siaran digital demi mengembangkan sistem penyiaran digital yang demokratis secara ekonomi maupun politik. Model pertama adalah bisnis lembaga penyiaran publik dan komunitas. Model kedua adalah bisnis lembaga penyiaran swasta. TVRI sebagai lembaga penyiaran publik menjadi multiplekser yang merupakan televisi komunitas dan pendidikan yang berorientasi publik. Implementasi siaran analog, frekuensi dikuasai oleh lembaga siaran Jakarta yang tergabung dalam ATVSI dalam skala nasional. Hal ini menimbulkan dominasi dan penguasaan frekuensi pemilik TV Jakarta yang bertentangan dengan UU otonomi daerah. Terjadi dominasi siaran komersial yang sangat Jakarta minded dan kondisi ini menjadi semakin parah bahwa hampir sebagian besar TV Jakarta melakukan siaran nasional beraliansi dengan kekuatan politik tertentu. Pemisahan antara lembaga penyelenggara multipleks dengan penyelenggara siaran dibutuhkan. Daya dukung ekonomi perlu diperhatikan dalam memberikan izin siaran bagi penyelenggara siaran di setiap wilayah layanan. Mencegah adanya dominasi maka kepemilikan pada setiap daerah layanan perlu dibatasi. Setiap badan hukum dalam satu zona layanan diperkenankan menyelenggarakan satu izin siaran.
Regulasi Penyiaran
Regulasi media terbagi menjadi dua bagian besar yaitu media yang tidak menggunakan ranah publik seperti misalnya majalah, surat kabar, buku dan film dan media yang menggunakan ranah publik. Oleh karena itu apabila sebuah lembaga atau seseorang ingin menerbitkan buku, maka yang perlu dilakukan adalah mendirikan badan hukum sesuai dengan peraturan yang berlaku. Terdapat beberapa alasan mengapa media yang menggunakan ranah publick perlu diawasi dan diatur secara ketat. Pertama, media tersebut merupakan sesuatu yang berkaitan dengan publik yang mencakup banyak orang. Frekuensi digunakan secara bersama-sama, dan sebesar-besarnya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Peraturan yang ada dibuat untuk menyejahterakan rakyat atau publik bukan perseorangan. Kedua, dalam public domain terkandung prinsip scarcity dimana frekuensi yang ada terbatas. Jumlah permintaan frekuensi lebih tinggi dibandingkan jumlah frekuensi yang tersedia. Ketiga, sifat yang pervasive dimana pesan atau isi yang disampaikan oleh media tidak terbatas dan tidak dapar dikontrol.
Sistem regulasi yang tepat untuk Indonesia agar sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah ialah sistem penyiaran yang berlandaskan pada stasiun televisi lokal dan berjaringan. Selain itu, media seharusnya mampu menjadi public sphere dimana sangat memungkinkan terjadinya pertukaran informasi dan pandangan banyak orang sehingga dapat menyuarakan suara publik.
A. Dasar Kelahiran Undang-Undang
Undang-Undang Telekomunikasi lahir pada tahun 1999 dan disahkan oleh presiden ketiga B. J. Habibie pada tanggal 8 September. Walaupun lahir pada tahun 1999, Undang-Undang ini telah dibahas dan direncanakan sebelumnya sehingga Undang-Undang ini bukanlah lahir melalui pikiran reformasi. Undang-Undang Telekomunikasi merupakan produk hasil deregulasi dan liberalisasi secara besar-besaran. Hal ini dibuktikkan dengan adanya Badan Regulasi dan Telekomunikasi Indonesia (BRTI) yang diselipkan dalam penjelasan Undang-Undang. Di sisi lain, Undang-Undang yang lahir pada masa reformasi adalah Undang-Undang Penyiaran Pers 1999 dan Undang-Undang Penyiaran 2002.
Undang-Undang Pers disahkan oleh Presiden Habibie pada 23 September 1999. Undang-Undang mendapat dukungan serta kerjasama dari rakyat. Melalui Menteri Penerangan Yunus Yosfiah dalam Departemennya melibatkan kelompok masyarakat sipil dalam kelompok kerjanya. Semua unsur masyarakat dan industri mendukung UU Pers. Maka lahirlah UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Sementara itu, UU No. 32 tahun 2002 tentang penyiaraan mengatur media penyiaran yang menggunakan frekuensi publik. UU Penyiaran tersebut disahkan pada pemerintahan Megawati, walaupun pembahasannya berlangsung dari tahu 1999. Pelaku industri sebagian besar menolak dan mengajukannya MK. Presiden Megawati pun tidak menandatangani UU tersebut. Namun, berdasarkan peraturan perundang-undangna yang berlaku, seiring berjalannya waktu yang sudah ditentukan , maka secara tidak langsung UU tersebut menjadi sah dan memang sudah di bahas di DPR dan pemerintah.
B. Demokrasi Indonesia
Pancasila dan UUD 1945 adalah filsafat dan ideologi yang menjadi dasar dan arah untuk membangun Indonesia yang demokratis. Konstitusi kita menekankan perlunya menegakkan prinsip-prinsip kehidupan yang demokratis. Negeri ini juga secara tegas menyatakan ingin menegakkan desentralisasi melalui otonomi daerah yang luas sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18, 18A, 18B. Negara Indonesia tidak mendasarkan dirinya pada kebebasan berpolitik dan berpendapat serta jaminan didalamnya yang tercantum pada pasal 27, 28 dan 29. Namun, demokrasi Indonesia juga menjamin adanya hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat sebagaimana tercantum pada pasal 31, 32, 33 dan pasal 34. Semua ini memperlihatkan bahwa Republik Indonesia seharusnya bergerak dari sistem otoriter yang sentralistis ke sistem demokratis yang desentralistis. Negeri ini mengutamakan dan mendahulukan kepentingan nasional, meskipun tidak harus menjadi chauvinis.
C. Demokrasi Telekomunikasi/Komunikasi dan Penyiaran
Indikator dari sebuah negara yang demokratis adalah terdapatnya jaminan kemerdekaan berekspresi (freedom of expression), kemerdekaan berbicara (freedom of speech), dan kemerdekaan pers (freedom of the press). Ini merupakan bagian dari adanya jaminan terhadap hak sipil dan hak politik.
Bagi negara demokrasi, jaminan tersebut di atas adalah sebuah keharusan. Bagi bangsa dan negara yang demokratis, bagi dunia media dan komunikasi yang demokratis, Harus ada jaminan terhadap diversity of voices, diversity of content dan diversity of ownership. Menjamin perbedaan tersebut merupakan cerminan dari mengelola pelaksanaan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat. Tanpa ada jaminan dan pengelolaan yang baik terhadap diversity ini, maka akan ada otoriterianisme kapital yang mengatasnamakan freedom untuk menyerang dan membunuh demokrasi.
D. Regulasi Telekomunikasi dan Penyiaran
Undang-Undang Telekomunikasi dan Penyiaran yang sekarang ada tampak secara paradigmatik memang mengandung perbedaan mendasar. Di dalam Undang-Undang Telekomunikasi dinyatakan bahwa penyelenggara telekomunikasi terdiri dari tiga institusi yaitu: 1. Penyelenggara jaringan telekomunikasi. 2. Penyelenggara jasa telekomunikasi dan 3. Penyelenggara telekomunikasi khusus. Negara dalam hal ini membiarkan penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi dapat dikuasai oleh asing. Kemudian regulasi membiarkan konsentrasi terjadi dengan membiarkan penyelenggara jaringan dapat mengontrol, mengendalikan, dan memiliki penyelenggara jasa telekomunikasi.
Sumber :
Rianto,dkk. 2012. DIGITALISASI TELEVISI DI INDONESIA. Yogyakarta : PR2Media
Rahayu, dkk. 2015. MENEGAKKAN KEDAULATAN TELEKOMUNIKASI & PENYIARAN. Yogyakarta : PR2Media
Bình luận